Sabtu, 26 November 2011

Itu Kawan Bukan Lawan, Students !!


Semua kembali ke tema awal STOP BuLLYing

Resensi sepotong Langit Biru. Film Langit Biru yang baru rilis tanggal 17 November 2011 ini hadir di tengah maraknya kasus Bullying yang terjadi di sekolah-sekolah, dari SMA hingga tingkat SD sekalipun. Mengangkat tema yang sama juga, yaitu tentang kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah, penonton seakan diingatkan kembali bahwa kasus kekerasan seperti ini belum tuntas diberantas sampai ke akar-akarnya.

Dengan tema anti bullying dan anti kekerasan yang ingin dibawakan film ini, Melissa Karim mampu memulai jalan cerita film ini dengan cukup baik. Pada awalnya memperkenalkan tiga karakter protagonis utama yang menjadi fokus jalan cerita film ini, bagaimana latar belakang kehidupan mereka serta bagaimana keseharian mereka dimulai, Langit Biru juga secara perlahan mulai memasukkan konflik yang dihadapi oleh Biru, Amanda dan Tomtim dengan Bruno dan teman-temannya. Dirangkai dalam sebuah jalinan cerita yang memiliki ikatan unsur hiburan yang kuat, serta semakin dipermanis dengan lagu-lagu yang terdengar cukup catchy dan ditampilkan dengan menggunakan tata koreografi yang menarik, bagian perkenalan awal penonton terhadap kisah awal Langit Biru harus diakui akan meninggalkan cukup banyak kesan.
Ratnakanya Pinandita yang berperan sebagai Biru adalah sosok yang membuat kita sadar bahwa tindak kekerasan di sekolah, sekecil apapun itu tindakannya tidak dibenarkan. Film ini menceritakan mengenai tindakan Bruno yang diperankan oleh Cody Mcclendon salah satu murid yang paling ditakuti di sekolah yang selalu berbuat kasar kepada teman-temannya, salah satunya Tomtim, sahabat Biru. Bruno memiliki peran penting dalam film ini karena Ia-lah yang sebenarnya menjadi objek dari film ini. Tindakan-tindakan kasarnya itulah yang membuat Biru, Tom-tim, dan Amanda tertarik untuk mengangkatnya menjadi bahan presentasi tugas sekolah.

Dalam Langit Biru, Tomtim (Jeje Soekarno) merupakan seorang anak laki-laki yang memiliki bakat luar biasa dalam hal menggambar. Dalam kesehariannya, Tomtim dapat ditemui sedang berkumpul bersama dua sahabatnya, Biru (Ratnakanya) dan Amanda (Beby Natalie). Selalu menghabiskan kesehariannya dengan dua teman perempuannya, Tomtim kemudian menjadi sasaran bulan-bulanan Bruno (Cody McClendon) di sekolahnya. Yang lebih parah, Tomtim sama sekali tidak memiliki keberanian untuk melawan dan seringkali menunggu untuk ‘diselamatkan’ dan dibela terlebih dahulu oleh teman perempuannya, Biru.

Bruno memiliki genk cowok macho yang terdiri atas Samuel, Jason, dan Erlangga. Mereka merasa kalau genk mereka adalah genk yang paling kuat dan benar. Padahal mereka tidak pernah tahu bahwa sebenarnya tindakan-tindakan bully mereka sangat mengganggu ketenangan teman-teman yang lain. Di sini Brunolah yang menjadi sorotan karena memang dialah pemimpin genk ini. Tomtim bukanlah satu-satunya korban kejahilan dan kenakalan Bruno beserta tiga teman akrabnya, Jason (Patton Otlivio), Samuel (Nathan Carol) dan Erlangga (Jonathan Prasetyo). Di sekolahnya, keempat anak ini memang dikenal sebagai biang permasalahan. Merasa tidak tahan lagi melihat perlakuan Bruno dan teman-temannya, Biru akhirnya mengusulkan pada Amanda dan Tomtim untuk memanfaatkan sebuah proyek yang diberikan guru mereka, Miss Dewi (Becky Tumewu), untuk mengungkap semua seluruh tindak-tanduk kenakalan Bruno di sekolah.

Biru, Amanda dan Tomtim memang dapat dengan mudah untuk merekam seluruh perbuatan nakal Bruno dan teman-temannya di sekolah. Namun, ketika mereka berusaha untuk memasuki kehidupan Bruno lebih mendalam, sebuah kenangan pahit yang telah lama disimpan oleh Bruno rapat-rapat pun akhirnya mulai terbuka. Gayanya yang urakan dan ‘bengis’ ternyata berbanding 180 derajat dengan sikapnya ketika di rumah. Ternyata Bruno adalah anak yang patuh terhadap ibunya –karena ayahnya sudah meninggal dan ia pun sangat sangat terhadap adiknya, Holly yang menderita Down Syndrome. Hal tersebut membuat Bruno dan Ibunya harus bergantian menjaga Holly. Perbedaan sikap Bruno ini akhirnya diketahui oleh Biru dan kawan-kawan karena mereka selalu mengikuti Bruno sampai ke rumahnya. Tidak hanya itu, ternyata Bruno adalah kakak pembimbing atau pelatih dance di tempat dance Brandon, adik Amanda. Dari testimony pelatih yang lain dan Brandon, diketahuilah bahwa sikap Bruno tidaklah sama dengan sikapnya di sekolah.

Sayangnya, hal tersebut tidak begitu bertahan terlalu lama. Seiring dengan berjalannya cerita film ini, Langit Biru kemudian memperdalam lagi latar belakang kehidupan setiap karakter yang hadir di dalam jalan ceritanya. Semakin banyak intrik cerita dan semakin banyak kehadiran karakter-karakter pendukung. Secara perlahan, beberapa karakter yang tadinya hadir dalam porsi yang cukup banyak menghilang dan digantikan oleh kisah-kisah yang datang dari karakter pendukung. Disinilah pola penceritan Langit Biru terasa begitu terpecah. Masuknya beberapa plot cerita tambahan yang sama sekali tidak terkait dengan plot cerita utama – seperti keikutsertaan karakter adik Amanda, Brandon (Brandon De Angelo), dalam sebuah kontes menari yang ditampilkan secara panjang atau kisah romansa ramaja yang mulai tumbuh antara karakter Amanda dengan karakter Jason – juga membuat penceritaan Langit Biru terasa semakin bertele-tele.

Karakter-karakter anak yang terdapat di dalam jalan cerita Langit Biru diperankan oleh aktor dan aktris muda yang mungkin belum pernah atau masih minim mendalami dunia akting. Untungnya, di bawah pengarahan sutradara Lasja F. Susatyo, para aktor dan aktris muda tersebut tampil cukup maksimal, baik ketika berusaha untuk menghidupkan peran mereka, mengucapkan barisan-barisan dialog yang harus mereka ucapkan atau menampilkan koreografi dari lagu-lagu yang mereka tampilkan. Ratnakanya yang berperan sebagai Biru tampil dengan kemampuan akting yang paling maksimal ketika ia berhasil mengeksplorasi seluruh emosi yang harus dijalani karakter yang ia perankan. Pun begitu, beberapa kali masih terasa tercipta suasana awkward yang dapat dirasakan dalam permainan akting setiap aktor dan aktris muda tersebut, walaupun hal tersebut sama sekali tidak dapar dianggap sebagai sebuah masalah yang besar dan mengganggu. Departemen akting Langit Biru juga diperkuat oleh penampilan aktor dan aktris senior seperti Ari Wibowo, Donna Harun hingga Ira Duaty juga cukup mampu menambah kokoh kekuatan penampilan akting di film ini.

Tidak seperti kebanyakan film musikal anak Indonesia lainnya – yang terlihat kesulitan untuk menyeimbangkan antara penceritaan drama dan penceritaan musikal di dalam jalan ceritanya – Lasja F. Susatyo berhasil menampilkan elemen musikal pada Langit Biru dengan menarik dan dalam porsi yang cukup, tidak kurang dan tidak berlebihan. Lagu-lagu yang ditampilkan secara keseluruhan juga menarik, dan semakin terkesan catchy setelah ditampilkan dalam balutan koreografi yang handal. Kekurangan Langit Biru memang terletak pada naskah ceritanya yang bergerak semakin melebar seiring berjalannya cerita film ini. Hasilnya, dengan tema tunggal yang sebenarnya telah diemban semenjak awal, penceritaan Langit Biru malah berakhir dengan kesam bertele-tele. Pun begitu, Langit Biru masih cukup menarik untuk disimak, khususnya dengan adanya dukungan akting para pemerannya yang tidak mengecewakan serta kualitas tata produksi yang mampu menghasilkan tata gambar dan suara yang meyakinkan.

Secara garis besar cerita ini sangat mudah diterima dan sangat menghibur. Banyak pesan penting yang terkandung di dalamnya. Salah satunya adalah Stop Bullying, kawan itu bukan lawan, tetapi orang yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi masalah, kesulitan, maupun kesenangan. Satu lagi, entah mengapa menonton film ini mata saya tidak habis-habisnya menahan airmata. Ada beberapa adegan yang ‘menyentil’ mata. Salah satunya adalah ketika Biru selalu mengingat masa-masa indahnya dengan Sang Ibu –yang sudah meninggal ketika masih kecil. Saya sangat bersyukur masih memiliki orangtua yang lengkap meskipun hingga kini masih saja belum mampu membahagiakan keduanya.

Share

0 komentar: