Muluk yang tidak muluk-muluk
Indonesia memiliki seorang pemuda bernama Muluk. Siapa itu? Muluk, seorang sarjana yang telah lulus dua tahun lalu dari jurusan manajemen tetapi masih pengangguran padahal ia ingin membanggakan ayahnya yang telah mengkuliahkannya dan membesarkannya. Melamar pekerjan kesana kemari dengan ijazah sarjananya hingga…. suatu hari ia tidak sengaja memergoki anak jalanan yang sedang mencopet. Hati Muluk tergerak untuk mengenal lebih jauh tentang sang pencopet. Mulukpun berkenalan dengan pencopet itu. Namanya “Komet”. Mulukpun mengetahui bahwa banyak anak-anak sebaya Komet masih berprofesi sebagai pencopet dan terus tumbuh sebagai pencopet di kemudian harinya. Akhirnya Muluk mempunyai ide, ia menawarkan diri pada Jarot sang pengelola anak-anak jalanan setipikal Komet untuk mengelola keuangan para pencopet cilik seperti Komet. Dimana sisi kelucuannya? Sepuluh persen dari hasil copet “haram” yang didapat sebagai penghasilan para pencopet jalanan akan dikelola menjadi sesuatu yang “halal”. Layaknya ide sang Robin Hood.
Pemikirannya sederhana… bagaimana mengubah penghasilan haram menjadi pekerjaan halal agar para pencopet cilik mau mengubah kebiasaan copet mereka menjadi pengasong. Selain itu Muluk ingin menjadikan para pencopet sebagai kelompok terpelajar dan beriman alias memiliki agama yang jadi pegangannya. Lama kelamaan Muluk mengajak temannya Pipit, anak pak Haji yang memiliki basic pendidikan agama memadai sebagai guru ngaji dan Syamsul, seorang sarjana pendidikan yang senang main kartu di poskamling kampung sebagai guru membaca. Mereka ingin mengubah pola pikir anak-anak pencopet itu agar tak lagi mencopet dan menjadi manusia yang lebih bermartabat, berahlak dan beragama. Dibalik semua pekerjaan itu, mereka bertiga berbohong dengan orangtua masing-masing tentang pekerjaannya yang didapat dari penghasilan haram para pencopet cilik.
Permasalahan akhirnya muncul saat Pak Makbul ayah Muluk, Haji Rohmat ayah Pipit dan Haji Sarbini calon mertua Muluk bersikeras hendak melihat tempat kerja Muluk, Pipit dan Syamsul. Mereka terkejut mengetahui bahwa anak-anak mereka bekerja untu para pencopet cilik dan makanan serta minuman yang selama ini mereka makan sebagai penghasilan anak-anak mereka berasal dari uang haram. Kecewa dan sedih. Apalagi selama ini mereka mendidik putra-putri mereka dengan agama dan pendidikan terbaik yang bisa mereka siapkan. Muluk, Pipit dan Syamsul hanya tertunduk. Mereka merasa bersalah. Dengan terpaksa mereka berhenti mengajar pencopet-pencopet cilik tersebut dan berusaha agar mencari penghasilan dari pekerjaan yang halalan tayyiban.
Selang beberapa masa kemudian….. Suatu hari Muluk sedang belajar menyetir untuk menjadi awal baginya mencari pekerjaan yang halal. Tanpa dinyana Muluk bertemu Komet dan teman-temannya yang telah mengubah pofesinya dari pencopet menjadi pengasong. Komet dan teman-temannya sedang asyik mengasong. Mulukpun bangga kepada mereka yang mengubah stigma pemikiran dari pencopet menjadi pedagang asongan.. sayangnya film ini diakhiri dengan semua kisah sedih yang harus Anda saksikan sendiri.
Film yang sangat menghibur dan memiliki pesan moral yang baik bagi penonton. Film yang menceritakan keadaan sesungguhnya di negeri kita ini. Sayangnya pada cerita cantik ini sepertinya tidak ada penyelesaian masalah yang terjadi di dalamnya. Tapi semuanya menjadi tujuan sutradara yang menginginkan kita menjadikan film ini sebagai perenungan untuk mengambil langkah lebih lanjut. Dimanakah peran kita dalam realitas itu? Karena realitas dalam film ini menunjukkan bahwa tidak semua pencopet cilik menjadi pedagang asongan dan seorang Muluk bukan hanya belum mendapat pekerjaan, terlebih lagi dia tertangkap oleh petugas satpol PP. Renungkanlah… Semua ini dan semua realitas dalam film ini mungkin memang sudah sesuai dengan judul “Alangkah lucunya negeri ini”. Indonesiaku yang lucu.
Bahan perenungan.....
0 komentar:
Posting Komentar